page contents
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Pemakaian tanda baca /!?/, /?!/, /!!!!!/, dan /????/ sering sekali kita temukan dalam tulisan, terutama dalam status di facebook ini. Tanda seru /!/ digunakan pada akhir kalimat perintah, larangan, permohonan, harapan, dan ajakan, misalnya "Berliburlah ke tempat nenekmu!" atau "Kerjakan segera, Harys!" Tanda tanya /?/ digunakan dalam kalimat interogatif, misalnya "Siapakah wanita berkerudung melati yang setiap hujan turun selalu berdiri di bawah jendela itu?" atau "Engkaukah itu, Rys, yang selalu mengganggu pikiranku lewat berpucuk-pucuk surat beraroma melati?" Jadi, jelaslah penggunaan dua tanda baca ini. Satu bernada perintah. Satunya lagi bernada tanya. Keduanya tidak bisa disatukan sebab berlainan jenis. Kemudian, hindari penggunaan tanda baca seperti /!!!!!/ dan /?????/. Mubazir. Cukup gunakan satu saja /!/ atau /?/.


Satu hal lagi kebiasaan pengarang cerpen yang sebaiknya dihindari, yaitu penggunaan tanda titik /............/ yang banyak sekali. Maksudnya apa? Jika ada kata di tengah-tengah kalimat yang dihilangkan, maka cukup gunakan tiga tanda titik /.../, misalnya, "Aku tak menyangka..., ah, sudahlah. Semua terserah dirimu." Jika ada kata-kata yang dihilangkan di akhir kalimat, maka gunakanlah empat tanda titik /..../, misalnya "Nenek tua yang selalu mengunyah sirih itu tak henti-henti bergaok-gaok, menceracau, dan misuh tak keruan. Air ludahnya berlari ke sana sini. Air ludahnya. Sirihnya ...."

 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar


Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Contoh: Nenek saya, baru datang, di pasar, dan sedang membaca.

Kata majemuk atau kompositum adalah gabungan morfem dasar yang seluruhnya berstatus sebagai kata yang mempunyai pola fonologis, gramatikal, dan semantis yang khusus menurut kaidah bahasa yang bersangkutan (KBBI). Kata majemuk juga memiliki pengertian gabungan dua kata atau lebih yang memiliki struktur tetap, tidak dapat disisipi kata lain atau dipisahkan strukturnya karena akan memengaruhi arti secara keseluruhan. Contoh: rumah makan, rumah sakit, kereta api, dan air mata.

Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase, maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Idiom merupakan perpaduan dua kata atau lebih yang maknanya tidak dapat secara langsung ditelusuri dari makna masing-masing kata yang tergabung. Contoh idiom adalah membanting tulang, panjang tangan, dan tebal telinga.

Perbedaan frasa, kata majemuk, dan idiom; frasa tidak memiliki makna baru, melainkan makna sintaktik atau makna gramatikal. Contoh, kaki Nasir yang maknanya secara sintaktik atau gramatikal sesuai dengan kata 'kaki' dan 'Nasir'. Kata majemuk sebagai komposisi memiliki makna baru atau memiliki satu makna tetapi maknanya masih dapat ditelusuri secara langsung dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki meja yang masih dapat ditelusuri dari makna 'kaki' dan 'meja'. Idiom memunculkan makna baru yang tidak dapat secara langsung ditelusuri dari kata-kata yang digabungkan. Contoh, kaki tangan yang tidak ada sangkut pautnya dengan 'kaki' dan 'tangan'.

 
1. Ejaan van Ophuijsen

Pada tahun 1901 ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen, ditetapkan. Ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang menonjol dalam ejaan ini adalah sebagai berikut.

  1. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
  2. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
  3. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.


2. Ejaan Soewandi

Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.

  1. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
  2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
  3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
  4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.


3. Ejaan Melindo

Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu.

4. Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan

Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.

Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.

Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan adalah sebagai berikut.

1. Perubahan Huruf

Ejaan Soewandi Ejaan yang Disempurnakan

dj djalan, djauh j jalan, jauh

j pajung, laju y payung, layu

nj njonja, bunji ny nyonya, bunyi

sj isjarat, masjarakat sy isyarat, masyarakat

tj tjukup, tjutji c cukup, cuci

ch tarich, achir kh tarikh, akhir

2. Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya.

f maaf, fakir

v valuta, universitas

z zeni, lezat

3. Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai

a : b = p : q

Sinar-X

4. Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan, yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.

di- (awalan) di (kata depan)

ditulis di kampus

dibakar di rumah

dilempar di jalan

dipikirkan di sini

ketua ke kampus

kekasih ke luar negeri

kehendak ke atas

5. Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2.

  anak-anak, berjalan-jalan, meloncat-loncat

Sumber: Arifin, Zaenal dan S. Amran Tasai. 2007. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar

A.  Pengantar

Dalam penggunaan bahasa, keefektifan selain dapat dicapai melalui pemilihan kata yang tepat, dapat dilakukan dengan menghindari pemakaian kata yang mubazir. Kata mubazir yang dimaksud di sini adalah kata yang kehadirannya tidak terlalu diperlukan, sehingga jika dihilangkan, tidak mengganggu informasi yang disampaikan. Oleh sebab itu, dalam penggunaan bahasa sebaiknya kita berlaku hemat. Menurut Arifin dan Tasai (2008: 101), “Yang dimaksud dengan kehematan adalah hemat mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu”.

B.  Jenis Kata Mubazir

Menurut Arifin dan Tasai (2008: 101), jenis kata-kata mubazir sebagai berikut.  

1.      Pengulangan Subjek

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek.

Contoh:

a. Karena ia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.

b. Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui bahwa presiden datang.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.  

b. Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui bahwa presiden datang.

   

2.      Pemakaian Superordinat Pada Hiponim Kata

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghindarkan pemakaian superordinat pada hiponim kata.

Contoh:

a. Ia memakai baju warna merah.

b. Di mana engkau menangkap burung pipit itu?

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Ia memakai baju merah.

b. Di mana engkau menangkap pipit itu?

3.      Kesinoniman dalam Satu Kalimat

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.

Contoh:

a. Kita perlu menjaga kesehatan agar supaya terhindar dari penyakit.

b. Bank Sumitomo adalah merupakan salah satu bank terbesar di Jepang.

c. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, seperti misalnya Jakarta dan Surabaya.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Kita perlu menjaga kesehatan agar terhindar dari penyakit.

b. Kita perlu menjaga kesehatan supaya terhindar dari penyakit.

c. Bank Sumitomo merupakan salah satu bank terbesar di Jepang.

d. Bank Sumitomo adalah salah satu bank terbesar di Jepang.

e. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, seperti Jakarta dan Surabaya.

f. Beberapa kota besar di Indonesia umumnya sudah tercemar polusi udara, misalnya Jakarta dan Surabaya.

   

4.      Penjamakan Kata-Kata yang Berbentuk Jamak

Pengefektifan kalimat dapat dilakukan dengan cara tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak.

Contoh:

a. Para hadirin dipersilakan memasuki ruangan.  

b. Para tamu-tamu menikmati hiburan yang disajikan tuan rumah.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Hadirin dipersilakan memasuki ruangan.

b. Tamu-tamu menikmati hiburan yang disajikan tuan rumah.

Pendapat Arifin dan Tasai tersebut sejalan dengan Chaer (2011: 37) yang mengemukakan bahwa “Ada kata-kata yang kalau dihilangkan tidak akan mengganggu makna atau arti kalimat tersebut”. Kata-kata yang dapat dihilangkan, antara lain:

1. Kata-kata hari, tanggal, bulan, tahun, pukul atau jam.

Contoh:

a. Seminar itu akan berlangsung hingga hari Selasa mendatang.

b. Terhitung sejak tanggal 1 Maret 2012 ia diangkat menjadi calon pegawai negeri.

c. Setiap bulan Oktober, Balai Bahasa menyelenggarakan Bulan Bahasa.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Seminar itu akan berlangsung hingga Selasa mendatang.

b. Terhitung sejak 1 Maret 2012 ia diangkat menjadi calon pegawai negeri.

c. Setiap Oktober, Balai Bahasa menyelenggarakan Bulan Bahasa.

2. Kata dari dan daripada yang tidak perlu.

Contoh:

a. Pidato dari Presiden akan disiarkan ulang nanti malam.

b. Tugas dan fungsi daripada DPR adalah menyusun undang-undang, bukan mengurus pembangunan sarana pendidikan.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Pidato Presiden akan disiarkan ulang nanti malam.

b. Tugas dan fungsi DPR adalah menyusun undang-undang, bukan mengurus pembangunan sarana pendidikan.

3. Tidak menggunakan kata penanda jamak (seperti semua, banyak, beberapa, sekalian, dan para) bersama-sama sekaligus dengan bentuk ulang yang menyatakan jamak.

Contoh:  

a. Banyak pohon-pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

b. Sebagian barang-barang makanan yang diimpor itu sudah kadaluarsa.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.  

a. Pohon-pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

b. Banyak pohon bertumbangan ketika terjadi angin ribut semalam.  

c. Sebagian barang makanan yang diimpor itu sudah kadaluarsa.

4. Menghilangkan kata hipernim (superordinat) dari kata yang menjadi hiponimnya (superordinatnya).

Contoh:

a. Sayuran diangkut ke kota menggunakan kendaraan truk.

b. Di pasar ibu membeli ikan tongkol dan buah mangga.

Perbaikan kalimat tersebut sebagai berikut.

a. Sayuran diangkut ke kota menggunakan truk.

b. Di pasar ibu membeli tongkol dan mangga.

 
Uum G. Karyanto 

 Incumbent = Petahana

Kata 'incumbent' sebenarnya bisa saja diganti dengan istilah 'penjabat' atau 'pejabat'. Namun, kata 'pejabat' terlanjur digunakan dengan arti 'pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting'. Sementara itu, 'penjabat' memiliki arti 'pemegang jabatan sementara'. 

Salomo Simanungkalit dari Harian Kompas mengusulkan kata 'petahana' sebagai padanan kata 'incumbent'. Setelah saya lihat, di dalam KBBI terdapat kata 'tahana' yang berarti 'kedudukan, martabat (kebesaran, kemuliaan, dsb) dan kata 'bertahana' yang berarti 'bersemayam; duduk'. Jika kita berpedoman pada pola pembentukan kata bahasa Indonesia, kata 'petahana' dapat diterima. Coba kita lihat analogi sebagai berikut.
tinju -- bertinju -- petinju
tatar -- bertatar -- petatar
Maka:
tahana -- bertahana -- petahana.

Dari segi arti juga bisa diterima. Kata ini dapat kita artikan 'yang sedang memegang jabatan'. Contoh pemakaiannya: Sebagai petahana, Foke tidak boleh berkampanye pada pilgub DKI Jakarta sebelum mengambil dan diizinkan cuti.

Bagaimana kalau ramai-ramai (bersama Pak Salomo) kita usulkan agar kata 'petahana' dimasukan ke dalam KBBI edisi berikutnya sebagai pengganti kata 'incumbent'.
 
Yadhi Rusmiadi Jashar 

Menurut Nurgiyantoro, Sudut pandang orang ketiga (dia) dibagi menjadi dua, yaitu sudut pandang orang ketiga serba tahu dan sudut pandang orang kletiga sebagai pengamat. Pengarang, narator dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ”dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkup waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh ”dia”yang satu ke ”dia” yang lain, menceritakan atau sebaliknya ”menyembunyikan” ucapan dan tindakan tokoh, bahkan juga yang hanya berupa pikiran, perasaan, pandangan, dan motivasi tokoh secara jelas, seperti halnya ucapan dan tindakan nyata.

Contoh:
Sudah genap satu bulan dia menjadi pendatang baru di komplek perumahan ini. Tapi, belum satu kali pun dia terlihat keluar rumah untuk sekedar beramah-tamah dengan tetangga yang lain, berbelanja, atau apalah yang penting dia keluar rumah.
“Apa mungkin dia terlalu sibuk, ya?” celetuk salah seorang tetangganya. “Tapi, masa bodoh! Aku tak rugi karenanya dan dia juga tak akan rugi karenaku.”
Pernah satu kali dia kedatangan tamu yang kata tetangga sebelah adalah saudaranya. Memang dia sosok introvert, jadi walaupun saudaranya yang datang berkunjung, dia tidak bakal menyukainya.

Kalau orang ketiga sebagai pengamat, si pengarang menceritakan si tokoh secara terbatas. Pengarang cuma melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas. Tokoh cerita mungkin saja cukup banyak, yang juga berupa tokoh ”dia”, namun mereka tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan sosok dirinya seperti halnya tokoh pertama.

Contoh:
Entah apa yang terjadi dengannya. Datang-datang ia langsung marah. Memang kelihatannya ia punya banyak masalah. Tapi kalau dilihat dari raut mukanya, tak hanya itu yang ia rasakan. Tapi sepertinya ia juga sakit. Bibirnya tampak kering, wajahnya pucat,dan rambutnya kusut berminyak seperti satu minggu tidak terbasuh air. Tak satu pun dari mereka berani untuk menegurnya, takut menambah amarahnya.

Contoh sudut pandang orang pertama (aku) dapat diperhatikan dalam cuplikan novel Dua Ibu karya Mbak Sowiyah berikut ini.
Dan, dalam hal hubungan adikku dengan laki-laki yang oleh adikku dipanggilnya Mas Bayu itu, akulah yang paling keras menentangnya. Aku yakin, andai saja aku menyatakan setuju, tentu ayah ibuku akan setuju juga (Halaman 137).

 
Yadhi Rusmiadi Jashar 
 Contek dan Menyontek

Orang sering menganggap bahwa bentuk dasar dari kata "menyontek" adalah "contek". Kita lalu mengenal kata "contekan". Benarkah anggapan tersebut? Ternyata kita keliru. Bentuk dasar kata "menyontek" adalah "sontek". Menurut KBBI, sontek/menyontek memiliki arti 1) melanggar, menolak, menyerang, menggocoh; 2) mengutip (tulisan dsb.) sebagaimana aslinya, menjiplak. Sontekan memiliki arti hasil menjiplak. Proses morfologi yang benar adalah meN- + sontek --> menyontek (fonem /s/ luluh). Jika mau dipaksakan bentuk dasar "menyontek" adalah "contek", seharusnya bentuk yang benar bukan "menyontek" tetapi "mencontek" karena fonem /c/ tidak luluh atau lesap.
 
*Kiki Zakiah Nur, S.S.

Dalam berbahasa, banyak yang sering melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut mungkin disadari, mungkin juga tidak. Akibat kesalahan tersebut, bahasa yang digunakan menjadi kacau. Kekacauan dalam berbahasa ini disebut dengan kontaminasi. Istilah lainnya adalah kerancuan. Kontaminasi atau kerancuan merupakan pencampuradukan dua bentuk bahasa yang masing-masing dapat berdiri sendiri, atau disatukan dalam satu bentukan baru yang tidak sepadan sehingga melahirkan bentukan baru yang kacau.

Contoh kekacauan bahasa pada kata berulangkali dan seringkali. Kedua kata itu sering ditemukan dalam berbahasa. Kata berulangkali sebenarnya berasal dari dua bentukan kata yang benar, yakni berulang-ulang dan berkali-kali. Akan tetapi, orang sering menggabungkan keduanya dan pada akhirnya menghasilkan bentukan baru yang kacau.

Kata seringkali berasal dari kata sering dan banyak kali atau kerap kali atau acap kali. Kata sering di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki makna banyak kali. Jika begitu, makna kata seringkali menjadi banyak kali-kali atau kerap kali-kali. Makna itu tentu kacau karena kata itu memang berasal dari bentukan yang kacau pula. Jadi, bentuk yang tepat untuk kata seringkali adalah kerap kali atau acap kali, atau dapat juga dikatakan sangat sering.

Kata lainnya yang juga sering digunakan secara kacau adalah mengenyampingkan. Untuk membuktikan bahwa kata itu salah dapat dijelaskan struktur katanya.
Kata mengenyampingkan merupakan bentukan dari kata dasar samping yang diberi awalan me- dan akhiran –kan, yaitu me- + ke samping + -kan. Kemudian, unsur-unsur itu disatukan menjadi mengesampingkan. Hanya fonem /k/ pada awal kata ke samping yang luluh menjadi bunyi sengau /ng/, sedangkan bunyi /s/ pada kata samping tidak perlu diluluhkan. Sementara itu, ada juga bentuk menyampingkan yang berasal dari kata dasar samping yang diberi awalan me- dan akhiran –kan, yakni me- + samping + -kan menjadi menyampingkan. Pada bentukan tersebut, fonem /s/ pada awal kata samping menjadi luluh menjadi bunyi sengau /ny/. Jadi, bentukan mengenyampingkan merupakan bentuk rancu dari bentuk menyampingkan dan mengesampingkan.

Ada ungkapan yang sebenarnya kacau. Akan tetapi, karena banyak orang yang tidak mengetahuinya, mereka sering menggunakannya dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Bentuk ungkapan itu adalah semakin hari, misalnya semakin hari semakin cantik saja gadis itu. Penjelasannya adalah bahwa kata semakin atau makin diikuti oleh kata sifat atau adjektiva, misalnya semakin baik, semakin lama, makin buruk. Kata semakin atau makin tidak diikuti oleh kata benda atau nomina. Jadi, tidak ada semakin tahun, semakin baju (Buku Praktis Bahasa Indonesia 1). Kata hari juga termasuk jenis kata benda atau nomina. Jadi, ungkapan semakin hari merupakan ungkapan yang kacau.

Sebenarnya kontaminasi atau kekacauan dalam berbahasa ini dapat dihindari asalkan orang tahu bagaimana bentuk yang benar dan tahu bagaimana bentuk yang salah.

*Tenaga Teknis Kantor Bahasa Provinsi Lampung 
 
Oleh Yadhi Rusmiadi Jashar


Kalimat "Susu minum adik" merupakan kalimat yang tidak logis dan sangat mudah diidentifikasi ketidaklogisannya. Menurut nalar dan realitas sehari-hari, tidak mungkin dan tidak ada susu yang bisa minum adik. Suatu kalimat dianggap logis apabila kalimat itu mengandung makna yang diterima akal sehat.

Dalam komunikasi lisan maupun tulisan, kasus-kasus ketidaklogisan kalimat cukup banyak kita temukan bahkan karena sudah terlalu sering, ketidaklogisannya itu menjadi tidak tampak. Perhatikan beberapa contoh kalimat tidak logis berikut.

1. Pak Uum mengajar bahasa Indonesia di sekolah kami.

2. Bersama surat ini saya beritahukan bahwa saya tidak bisa menghadiri rapat nanti. 


3. Di sekolah kami dipelajarkan berbagai kecakapan hidup.

  Ketiga contoh kalimat tidak logis tersebut disebabkan pemilihan kata "mengajar", "bersama", dan "dipelajarkan" yang kurang tepat.




================
Pak Uum mengajar bahasa Indonesia di sekolah kami.

Konstruksi kalimat tersebut pernah dibahas Pak Uum Gatot Karyanto. Kalimat tersebut tidak logis karena penggunaan kata turunan "mengajar" yang tidak tepat. Perbaikan terhadap kalimat tersebut adalah dengan cara mengganti kata "mengajar" dengan kata "mengajarkan" atau "mengajari".

Jadi, perbaikannya sebagai berikut.

1. Pak Uum mengajarkan bahasa Indonesia di sekolah kami.

2. Pak Uum mengajari kami bahasa Indonesia. 

====================

Di sekolah kami dipelajarkan berbagai kecakapan hidup.

Kalimat tersebut tidak logis karena penggunaan kata "dipelajarkan" yang tidak tepat. Agar logis, kata "dipelajarkan" harus diganti dengan "diajarkan" atau "dipelajari". 


====================

Letak ketidaklogisan kalimat "Di sekolah kami dipelajarkan berbagai kecakapan hidup" adalah seolah-olah 'berbagai kecakapan hidup' itu dijadikan 'pelajar'. Wah, pada kalimat (1) saya mendapat kehormatan menjadi pemeran utama, nih. Lumayan untuk menaikkan rating dan honor pada kontrak-kontrak berikutnya. 

======================